SANGKURIANG
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang
mempunyai cerita sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu,
legenda sering kali dianggap sebagai "sejarah" kolektif (folk
history). Walaupun demikian, karena tidak tertulis, maka kisah tersebut telah
mengalami distorsi sehingga sering kali jauh berbeda dengan kisah aslinya. Oleh
karena itu, jika legenda hendak dipergunakan sebagai bahan untuk merekonstruksi
sejarah, maka legenda harus dibersihkan terlebih dahulu bagian-bagiannya dari
yang mengandung sifat-sifat folklor.
Menurut Buku Sari Kata Bahasa
Indonesia, Legenda adalah cerita rakyat zaman dahulu yang berkaitan dengan
peristiwa dan asal usul terjadinya suatu tempat.
Legenda adalah cerita yang
dipercaya oleh beberapa penduduk setempat benar-benar terjadi, tetapi tidak
dianggap suci atau sakral yang juga membedakannya dengan mitos. Dalam KBBI
2005, legenda adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya
dengan peristiwa sejarah. Menurut Emeis, legenda adalah cerita kuno yang
setengah berdasarkan sejarah dan yang setengah lagi berdasarkan angan-angan.
Menurut William R. Bascom, legenda adalah cerita yang mempunyai ciri-ciri yang
mirip dengan mitos, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap
suci. Menurut Hooykaas, legenda adalah dongeng tentang hal-hal yang berdasarkan
sejarah yang mengandung sesuatu hal yang ajaib atau kejadian yang menandakan
kesaktian. Dibawah ini saya akan memberikan satu contoh Legenda.
Sangkuriang
adalah legenda yang berasal dari Jawa Barat. Legenda tersebut berkisah tentang
terciptanya danau Bandung, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang, dan
Gunung Bukit Tunggul. Dari legenda tersebut, kita dapat menentukan sudah berapa
lama orang Sunda hidup di dataran tinggi Bandung. Dari legenda tersebut yang
didukung dengan fakta geologi, diperkirakan bahwa orang Sunda telah hidup di
dataran ini sejak beribu tahun sebelum Masehi.
Legenda Sangkuriang awalnya
merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda ini ada pada naskah
Bujangga Manik yang ditulis pada daun lontar yang berasal dari akhir abad ke-15
atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskah tersebut ditulis bahwa Pangeran Jaya
Pakuan alias Pangeran Bujangga Manik atau Ameng Layaran mengunjungi
tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan pulau Bali pada akhir abad
ke-15. Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang
sekarang menjadi kota Bandung. Dia menjadi saksi mata yang pertama kali
menuliskan nama tempat legendanya. Laporannya adalah sebagai berikut:
Leumpang aing ka baratkeun (Aku
berjalan ke arah barat)
Datang ka Bukit Patenggeng
(kemudian datang ke Gunung Patenggeng)
Sakakala Sang Kuriang (tempat
legenda Sang Kuriang)
Masa dek nyitu Ci tarum (Waktu
akan membendung Citarum)
Burung tembey kasiangan (tapi
gagal karena kesiangan)
Awalnya
diceritakan di kahyangan ada sepasang dewa dan dewi yang berbuat kesalahan,
maka oleh Sang Hyang Tunggal mereka dikutuk turun ke bumi dalam wujud hewan.
Sang dewi berubah menjadi babi hutan (celeng) bernama celeng Wayung Hyang,
sedangkan sang dewa berubah menjadi anjing bernama si Tumang. Mereka harus
turun ke bumi menjalankan hukuman dan bertapa mohon pengampunan agar dapat
kembali ke wujudnya menjadi dewa-dewi kembali.
Diceritakan bahwa Raja Sungging
Perbangkara tengah pergi berburu. Di tengah hutan Sang Raja membuang air seni
yang tertampung dalam daun caring (keladi hutan), dalam versi lain disebutkan
air kemih sang raja tertampung dalam batok kelapa. Seekor babi hutan betina
bernama Celeng Wayung Hyang yang tengah bertapa sedang kehausan, ia kemudian
tanpa sengaja meminum air seni sang raja tadi. Wayung Hyang secara ajaib hamil
dan melahirkan seorang bayi yang cantik, karena pada dasarnya ia adalah seorang
dewi. Bayi cantik itu ditemukan di tengah hutan oleh sang raja yang tidak
menyadari bahwa ia adalah putrinya. Bayi perempuan itu dibawa ke keraton oleh
ayahnya dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati. Dayang Sumbi tumbuh
menjadi gadis yang amat cantik jelita. Banyak para raja dan pangeran yang ingin
meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima.
Akhirnya para raja saling
berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permintaannya sendiri
mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu Si
Tumang. Ketika sedang asyik menenun kain, torompong (torak) yang tengah
digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah bale-bale. Dayang Sumbi karena merasa
malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang
mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan
dijadikan suaminya, jika perempuan akan dijadikan saudarinya. Si Tumang
mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Akibat perkataannya itu
Dayang Sumbi harus memegang teguh persumpahan dan janjinya, maka ia pun harus
menikahi si Tumang. Karena malu, kerajaan mengasingkan Dayang Sumbi ke hutan
untuk hidup hanya ditemani si Tumang. Pada malam bulan purnama, si Tumang dapat
kembali ke wujud aslinya sebagai dewa yang tampan, Dayang Sumbi mengira ia
bermimpi bercumbu dengan dewa yang tampan yang sesungguhnya adalah wujud asli
si Tumang. Maka Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki yang diberi
nama Sangkuriang. Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang kuat dan tampan.
Suatu ketika
Dayang Sumbi tengah mengidamkan makan hati menjangan, maka ia memerintahkan
Sangkuriang ditemani si Tumang untuk berburu ke hutan. Setelah sekian lama
Sangkuriang berburu, tetapi tidak nampak hewan buruan seekorpun. Hingga
akhirnya Sangkuriang melihat seekor babi hutan yang gemuk melarikan diri. Sangkuriang
menyuruh si Tumang untuk mengejar babi hutan yang ternyata adalah Celeng Wayung
Hyang. Karena si Tumang mengenali Celeng Wayung Hyang adalah nenek dari
Sangkuriang sendiri maka si Tumang tidak menurut. Karena kesal Sangkuriang
menakut-nakuti si Tumang dengan panah, akan tetapi secara tak sengaja anak
panah terlepas dan si Tumang terbunuh tertusuk anak panah. Sangkuriang bingung,
lalu karena tak dapat hewan buruan maka Sangkuriang pun menyembelih tubuh si
Tumang dan mengambil hatinya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada
Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui
bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, suaminya sendiri, maka
kemarahannya pun memuncak serta-merta kepala Sangkuriang dipukul dengan sendok yang
terbuat dari tempurung kelapa sehingga terluka.
Sangkuriang ketakutan dan lari
meninggalkan rumah. Dayang Sumbi yang menyesali perbuatannya telah mengusir
anaknya, mencari dan memanggil-manggil Sangkuriang ke hutan memohonnya untuk
segera pulang, akan tetapi Sangkuriang telah pergi. Dayang Sumbi sangat sedih
dan memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar kelak dipertemukan kembali dengan
anaknya. Untuk itu Dayang Sumbi menjalankan tapa dan laku hanya memakan
tumbuh-tumbuhan dan sayuran mentah (lalapan). Sangkuriang sendiri pergi
mengembara mengelilingi dunia. Sangkuriang pergi berguru kepada banyak pertapa
sakti, sehingga Sangkuriang kini bukan bocah lagi, tetapi telah tumbuh menjadi
seorang pemuda yang kuat, sakti, dan gagah perkasa. Setelah sekian lama berjalan
ke arah timur akhirnya sampailah di arah barat lagi dan tanpa sadar telah tiba
kembali di tempat Dayang Sumbi, ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenali
bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi - ibunya. Karena
Dayang Sumbi melakukan tapa dan laku hanya memakan tanaman mentah, maka Dayang
Sumbi menjadi tetap cantik dan awet muda. Dayang Sumbi pun mulanya tidak
menyadari bahwa sang ksatria tampan itu adalah putranya sendiri. Lalu kedua
insan itu berkasih mesra. Saat Sangkuriang tengah bersandar mesra dan Dayang
Sumbi menyisir rambut Sangkuriang, tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa
Sangkuriang adalah putranya, dengan tanda luka di kepalanya, bekas pukulan
sendok Dayang Sumbi. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya.
Dayang Sumbi sekuat tenaga berusaha untuk menolak. Maka ia pun bersiasat untuk
menentukan syarat pinangan yang tak mungkin dipenuhi Sangkuriang. Dayang Sumbi
meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu
semalam dengan membendung sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.
Maka dibuatlah perahu dari sebuah
pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung
Bukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan menjadi Gunung
Burangrang. Dengan bantuan para guriang (makhluk halus), bendungan pun hampir
selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar
niat Sangkuriang tidak terlaksana. Dayang Sumbi menebarkan helai kain boeh
rarang (kain putih hasil tenunannya), maka kain putih itu bercahaya bagai fajar
yang merekah di ufuk timur. Para guriang makhluk halus anak buah Sangkuriang
ketakutan karena mengira hari mulai pagi, maka merekapun lari menghilang
bersembunyi di dalam tanah. Karena gagal memenuhi syarat Dayang Sumbi,
Sangkuriang menjadi gusar dan mengamuk. Di puncak kemarahannya, bendungan yang
berada di Sanghyang Tikoro dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum
dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga
Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah
ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.
Sangkuriang terus mengejar Dayang
Sumbi yang lari menghindari kejaran anaknya yang telah kehilangan akal sehatnya
itu. Dayang Sumbi hampir tertangkap oleh Sangkuriang di Gunung Putri dan ia pun
memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar menyelamatkannya, maka Dayang Sumbi pun
berubah menjadi setangkai bunga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di
sebuah tempat yang disebut dengan Ujung berung akhirnya menghilang ke alam gaib
(ngahiyang).
NAMA : RADEN RUHIYAT DWI KOMARA B
NPM : 35216920
NPM : 35216920
Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Legenda
https://id.wikipedia.org/wiki/Sangkuriang_(legenda)
Comments
Post a Comment